Jumat, 14 Oktober 2016

BUYA HAMKA TIDAK MEMBODOHI KITA

Oleh: Dr. Adian Husaini (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS al-Maidah: 51).
****
Sejak tahun 1959, Prof. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Buya Hamka, sudah mengajar Tafsir al-Quran di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta. Tahun 1964, Buya Hamka dijebloskan ke dalam tahanan oleh Rezim Orde Lama. Ketika itulah, Ketua MUI Pertama itu berkesempatan menyelesaikan Tafsir al-Azhar, yang kini masih menjadi salah satu Buku Tafsir rujukan di Indonesia. Dari waktu ke waktu, Tafsir ini berganti-ganti penerbit. Terakhir, tahun 2015, Tafsir al-Azhar diterbitkan oleh penerbit Gema Insani Press (GIP) Jakarta dalam bentuk edisi mewah.
Di tengah gegap gempita pembahasan QS al-Maidah ayat 51 – yang dipicu pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – ada baiknya kita menelaah bagaimana Buya Hamka menafsirkan QS al-Maidah: 51. Sebab, selama puluhan tahun, belum pernah kita dengar satu makhluk pun di muka bumi yang berani menuduh para mufassir al-Quran seperti Buya Hamka ini, telah membohongi dan membodohi umat Islam pakai al-Maidah:51.
Karena itulah, ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, sangat bersejarah. Dalam pernyataannya, 11 Oktober 2016, MUI secara resmi menyatakan, bahwa Ahok telah menghina al-Quran dan menghina ulama-ulama Islam. Kita simak kembali petikan ucapan Ahok yang juga dikutip dalam pernyataan resmi MUI: “… Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..”
Maka, adalah menarik untuk menelaah isi Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka tentang QS al-Maidah:51. Setelah itu, kita bertanya, layakkah ulama terkemuka seperti Buya Hamka ini dikatakan telah membohongi dan membodohi umat Islam? Juga, kepada siapa seharusnya penghina al-Quran dan ulama itu meminta maaf? Siapa pula yang pantas memberikan maaf?
Buya Hamka mengawali penjelasan tentang QS al-Maidah:51 dengan kata-kata yang tegas: “Untuk memperteguh disiplin, menyisihkan mana kawan mana lawan, maka kepada orang yang beriman diperingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin.” (pangkal ayat 51).
Selanjutnya, kita ikuti uraian Buya Hamka dalam Kitab Tafsirnya tersebut:
“Disini jelas dalam kata seruan pertama, bahwa bagi orang yang beriman sudah ada satu konsekuensi sendiri karena imannya. Kalau dia mengaku beriman pemimpin atau menyerahkan pimpinannya kepada Yahudi atau Nasrani. Atau menyerahkan kepada mereka rahasia yang tidak patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian yang akan didapat, melainkan bertambah kusut…”
“… Sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian.” Maksud ayat ini dalam dan jauh. Artinya jika pun orang Yahudi dan Nasrani itu yang kamu hubungi atau kamu angkat menjadi pemimpinmu, meskipun beberapa orang saja, ingatlah kamu, bahwa sebagian yang berdekat dengan kamu itu akan menghubungi kawannya yang lain, yang tidak kelihatan menonjol ke muka. Sehingga yang mereka kerjakan diatas itu pada hakikatnya ialah tidak turut dengan kamu. Kadang-kadang lebih dahsyat lagi dari itu. Dalam kepercayaan sangatlah bertentangan di antara Yahudi dan Nasrani; Yahudi menuduh Maryam berzina dan Isa al-Masih anak Tuhan, dan juga Allah sendiri yang menjelma jadi insan. Sejak masa Isa al-Masih hidup, orang Yahudi memusuhi Nasrani, dan kalau Nasrani telah kuat kedudukannya, merekapun membalaskan permusuhan itu pula dengan kejam sebagaimana selalu tersebut dalam riwayat lama dan riwayat zaman baru. Tetapi apabila mereka hendak menghadapi Islam, yang keduanya sangat membencinya, maka yang setengah mereka akan memimpin setengah yang lain. Artinya di dalam menghadapi Islam, mereka tidak keberatan bekerja sama.
Sebagaimana pernah terjadi di Bandung pada masa Republik Indonesia telah memilih Anggota Badan Konstituante. Wakil-wakil partai-partai Islam ingin agar di dalam Undang-Undang Dasar yang akan dibentuk itu dicantumkan tujuh kalimat, yaitu, “Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Maka seluruh partai yang membenci cita-cita Islam itu sokong-menyokong, pimpin-memimpin, beri-memberi, menentang cita-cita itu, walaupun diantara satu sama lain berbeda ideologi dan berbeda kepentingan. Dalam menghadapi Islam mereka bersatu. Bersatu Katolik, Protestan, partai-partai nasional, partai sosialis, dan partai komunis.
Dalam gelanggang internasional pun begitu pula. Pada tahun 1964 Paus Paulus VI, sebagai Kepala Tertinggi dari gereja Katolik mengeluarkan ampunan umum bagi agama Yahudi. Mereka dibebaskan dari dosa yang selama ini dituduhkan kepada mereka yaitu karena usaha merekalah Nabi Isa al-Masih ditangkap oleh Penguasa Romawi dan diserahkan kepada orang Yahudi, lalu disalib, (menurut kepercayaan mereka). Sekarang setelah 20 abad Yahudi dikutuk, Yahudi dihina dimana-mana dalam dunia Kristen, tiba-tiba Paus memberi mereka ampun. Ampun apakah ini, sehingga pegangan kepercayaan 2.000 tahun dapat diubah demikian saja? Tidak lain, adalah Ampunan Politik. Tenaga Yahudi yang kaya raya dengan uang harus bersatu padu dengan Kristen didalam menghadapi bahaya Islam. Kemudian, 1967, negeri-negeri Arab diserang Yahudi dalam masa empat hari dan Jerusalem (Baitul Maqdis) dirampas dari tangan kaum Muslimin, padahal telah 14 abad mereka punyai. Dan tiba-tiba datanglah gagasan dari gereja Katolik agar kekuasaan atas Tanah Suci kaum Muslimin, wilayah turun temurun selama 1.300 tahun lebih dari bangsa Arab supaya diserahkan kepada satu Badan Internasional. Tegasnya, kepada PBB sedangkan yang berkuasa penuh dalam PBB itu adalah negara-negara Kristen. (Perancis Katolik, Amerika Protestan, Inggris Anglicant, dan Rusia Komunis)…”
“… Sambungan ayat, “Dan barangsiapa yang menjadikan mereka itu pemimpin diantara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah termasuk golongan dari mereka.”
Suku ayat ini amat penting diperhatikan. Yaitu barangsiapa yang mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya, tandanya dia telah termasuk golongan mereka, Artinya telah bersimpati kepada mereka. Tidak mungkin seseorang yang mengemukakan orang lain jadi pemimpinnya kalau dia tidak menyukai orang itu. Meskipun dalam kesukaannya kepada orang yang berlain agama itu, dia belum resmi pindah kedalam agama orang yang disukainya itu. Menurut riwayat dari Abdu Humaid, bahwa sahabat Rasulullah saw yang terkenal Hudzaifah bin al-Yaman berkata: “Hati-hati tiap-tiap seorang daripada kamu, bahwa dia telah menjadi Yahudi atau Nasrani sedang dia tidak merasa.” (Fathul Qodir, Juz 2 hlm. 53)
Lalu dibacanya ayat yang sedang kita tafsirkan ini, yaitu kalau orang telah menjadikan mereka itu jadi pemimpin, maka dia telah termasuk golongan orang yang diangkatnya jadi pemimpin itu.
Perhatikanlah bagaimana bangsa-bangsa penjajah Kristen yang telah menaklukkan negeri-negeri Islam, yang mula-mula mereka kerjakan dengan sungguh-sungguh ialah mengajarkan bahasa mereka, supaya rakyat Islam yang terjajah itu berpikir dalam bahasa bangsa yang menjajah, lalu mereka lemah dalam bahasa sendiri dan terpengaruh dengan peradaban dan kebudayaan bangsa Kristen yang menjajahnya itu. Kian lama kian hilanglah kepribadian umat yang terjajah tadi, hilang pokok asalnya berpikir dan hilang perkembangan bahasanya sendiri. Lalu yang dipandangnya tinggi ialah bangsa yang menjajahnya itu. Hal ini telah kita alami di zaman penjajahan Belanda di Indonesia dan penjajahan Perancis di Afrika Utara, dan penjajahan Inggris di Tanah Melayu dan India. Maka orang yang pangkalannya berpikir masih dalam Islam, merasa rumitlah menghadapi orang-orang yang mengaku Islam ini, sebab dan telah berpikir dari luar Islam.
Bertahun-tahun lamanya kita yang memperjuangkan Islam musti memberikan kepada mereka keterangan agama sepuluh kali lebih sulit daripada memberi keterangan kepada seorang Amerika atau Eropa yang ingin memeluk Islam. Sebab rasa cemooh kepada agama, sinis, acuh tak acuh telah memenuhi sikapnya; mereka itu menamai dirinya Kaum Intelek yang meminta keterangan agama yang masuk akal.
Padahal akalnya itu telah dicekok oleh didikan asing, sehingga kebenaran tidak bisa masuk lagi. Kadang-kadang terhadap orang seperti ini, seorang Muslim yang taat harus bersikap seperti “Menatang minyak penuh”, sebab batinnya pantang tersinggung. Bukan akal mereka yang benar cerdas atau rasionalis melainkan jiwa mereka yang telah berubah, sehingga segala yang bagus adalah pada bangsa yang menjajah mereka, dan segala yang buruk adalah pada pemeluk agamanya sendiri.
Orang semacam inilah yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun didalam Muqaddimah tarikhnya, (Pasal ke II, Kitab Pertama, no. 23). Kata beliau, “Orang yang kalah selalu meniru orang yang menang, baik dalam lambangnya, atau dalam cara berpakaian, atau kebiasaannya dan sekalian gerak-gerik, dan adat-istiadatnya. Sebabnya ialah karena jiwa itu selalu percaya bahwa kesempurnaan hanya ada pada orang yang telah mengalahkannya itu. Lalu dia menjadi penurut, peniru. Baik oleh karena sudah sangat tertanam rasa pemujaan atau karena kesalahan berpikir, bahwa keputusan bukanlah karena kekalahan yang wajar, melainkan karena tekanan rasa rendah diri yang menang selalu benar!”
Barangsiapa yang mengangkat pemeluk agama lain itu jadi pemimpin tidaklah berarti bahwa mereka mengalih agama. Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan, tetapi hakikat Islam telah hilang dari jiwa mereka. Saking tertariknya dan tergadainya jiwa mereka kepada bangsa yang memimpinnya tidaklah mereka keberatan menjual agama dan bangsanya dengan harga murah.
Ketika Belanda sudah sangat kepayahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan mereka sehingga nyaris gagal maka yang menunjukkan cara bagaimana memusnahkan dan mematahkan perlawanan itu ialah seorang jaksa beragama Islam yang didatangkan dari luar Aceh. Dia memberikan advis supaya Belanda mendirikan tentara Marsose yang selain dari memakai bedil dan kelewang, hendaklah mereka memakai rencong juga, sebagaimana orang Aceh itu pula, buat memusnahkan pahlawan Muslimin Aceh yang masih bertahan secara gerilya. kononnya beliau dalam kehidupan pribadi adalah seorang Islam yang taat shalat dan puasa. dan dia mendapat bintang Willemsorde dari Belanda karena jasanya menunjukkan rahasia-rahasia umatnya seagama itu.
Orang seperti ini banyak terdapat dalam sejarah. Negerinya hancur, agamanya terdesak dan buat itu dia diberi balas jasa, yaitu bintang! Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh sahabat Rasulullah saw tadi, yaitu mereka telah menjadi Yahudi, dan disini telah menjadi Nasrani, padahal mereka tidak sadar.”
“Sesungguhnya Allah tidaklah memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (ujung ayat 51)
Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya, sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap. mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi. padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha, sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian.”
****
Demikian penjelasan Buya Hamka tentang makna QS al-Maidah:51. Selama puluhan tahun, tidak ada satu makhluk pun di Indonesia yang menuduh Buya Hamka telah membohongi dan membodohi umat Islam, menggunakan QS al-Maidah:51. Barulah, pada 27 September 2016, beredarlah pidato di Pulau Seribu yang sangat bersejarah itu. Ini masalah serius. Masalah iman Islam, dan masalah kehormatan al-Quran dan para pewaris Nabi. Terlalu remeh, jika kasus ini dikaitkan dengan Pilkada DKI.
Siapakah manusia-manusia yang dengan suka cita dan bangga telah menjadikan kaum Yahudi-Nasrani sebagai pemimpin, dengan mengabaikan kaum muslimin? Jawabannya, ada pada ayat berikutnya: “Maka akan engkau lihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, berlomba-lombalah mereka kepada mereka, berkata mereka: “Kami takut bahwa akan menimpa kepada kami kecelakaan.” Maka moga-moga Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu keadaan dari sisi-Nya. Maka jadilah mereka itu, atas apa yang mereka simpan-simpan dalam hati mereka, menjadi orang-orang yang menyesal.” (QS al-Maidah: 52).
Buya Hamka menjelaskan makna ayat ini: “Inilah kalimat yang tepat. Bahwasanya yang mau menjadikan Yahudi dan Nasrani menjadi pimpinan, tidak lain daripada orang yang di dalam hatinya telah ada penyakit. Penyakit, terutama yang pertama ialah munafik. Yang kedua ialah agamanya itu hanya sekedar nama sebutan belaka, sebab mereka kebetulah keturunan orang Islam. Bagi mereka sama saja, apakah pimpinan itu Islam atau Yahudi atau Nasrani, asal ada jaminan hidup. Bahkan, sampai kepada zaman kita telah merdeka sekarang ini, masih belum sembuh benar penyakit itu.”
Setelah kasus Basuki Tjahaja Purnama, semoga nanti tidak muncul pula orang-orang yang mengaku munafik dan menuduh Buya Hamka serta para ulama Islam telah membohongi umat Islam dengan memakai al-Maidah:52. Namun, kita pun diingatkan al-Quran, agar tidak perlu risau dengan berbagai ucapan aneh-aneh yang mengajak kepada keraguan dan kekufuran. Mereka akan berhadapan dengan Allah. “Maka janganlah ucapan mereka itu merisaukan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.” (QS Yasin: 76).
Kewajiban kita hanyalah mengingatkan, melanjutkan misi dakwah para Nabi. Kita akan bertanggung jawab terhadap pilihan dan amal perbuatan kita masing-masing.

Wallahu A’lam.*/ Depok, 13 Oktober 2016

Selasa, 11 Oktober 2016

Teror Kata Berkedok "Kasih"




Oleh: Adian Husaini ( Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)

"Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta."
(Henry Martyn, missionaries)
Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk ‘menaklukkan’ dunia Islam perlu resep lain: gunakan ‘kata, logika, dan kasih’. Bukan kekuatan senjata atau kekerasan.
Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull, ‘Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.’
Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah misionaris pertama dan mungkin terbesar yang menghadapi para pengikut Muhammad.
Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi resep untuk ‘menaklukkan’ dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai ‘beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen’.
Bagi para missionaris, mengkristenkan kaum Muslim adalah keharusan. Dalam laporan tentang Konferensi Seabad Misi-misi Protestan Dunia (Centenary Conference on the Protestant Missions of the World) di London (1888), tercatat ucapan Dr George F Post, ‘Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini merupakan pertarungan hidup dan mati.’ Selanjutnya, dia berpidato, ‘... kita harus masuk ke dalam Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus mengkristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris mengarungi gurun-gurun, dan mereka akan menyapu laksana api melahap kekristenan kita dan melahapnya.’
Kasus Turki Utsmani Kekuatan ‘kata’ dan ‘kasih’ model Henry Martyn perlu dicatat secara serius. Perang pemikiran ini biasanya dijalankan dengan sangat halus, berwajah manis (seperti penampilan Paul Wolfowitz yang murah senyum). Tetapi cara ini justru lebih manjur, tanpa disadari si Korban.
Ahmad Wahib, yang kini dibangkit-bangkitkan lagi oleh sejumlah kalangan, bisa jadi merupakan ‘korban teror’ sehingga dia jadi ragu tentang kebenaran Islam. Banyak cendekiawan Muslim yang jadi korban setelah menerima pemikiran dan berbagai fasilitas. Anehnya, mereka merasa ‘tercerahkan’ sehingga bersemangat mengadopsi dan menyebarkan ‘pemikiran yang dianggap baru’ kepada kaum Muslimin. Padahal Allah telah memperingatkan dalam Al-Quran Surat Al-Hijr ayat 39:
‘Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’
Kaum Yahudi juga sangat mafhum akan kekuatan teror ‘kata’ dan ‘kasih’. Begitu dahsyat sehingga mampu menghancurkan imperium besar (Utsmani) yang telah berusia hampir 700 tahun. Bagi Zionis, Turki Utsmani adalah penghalang utama mewujudkan negara Yahudi di Palestina.
Bagi Kristen-Eropa, Turki Utsmani adalah ancaman serius. Pendiri Kristen-Protestan, Martin Luther, menyatakan, ‘Kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki sekaligus’. Bernard Lewis menggambarkan, begitu takutnya sampai ada doa agar Tuhan menyelamatkan mereka dari kejahatan Paus dan Turki (Islam and the West, 1993).
Turki Ustmani sulit digulung dengan kekuatan senjata, tapi bisa ditekuk dari dalam oleh kelompok Turki Muda (The Young Turk) dengan ‘kata-kata’. Setelah 1908, praktis kekuasaan di Ustmani sudah dipegang oleh kelompok ini, melalui organisasi Committee anda Union Progress (CUP) yang beranggotakan para cendekiawan Turki yang telah ter-Barat-kan (westernized). Tiga Presiden Tukri modern (sampai tahun 1960) adalah aktivis SUP.
Bagi mereka, Barat (Eropa) adalah ‘kiblat’ untuk mencapai kemajuan. Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP, mengatakan, ‘Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawar maupun durinya sekaligus.’
Dalam buku The Young Turk in Position yang diterbitkan Oxford Univeristy Press (1955), cendekiawan Turki M. Sukru Hanioglu mencatat bahwa kelompok ini berideologi positivesme, materialisme, dan nasionalisme. Hebatnya CUP juga memiliki kader-kader di tentara Ustmani, yang kemudian memegang kekuasaan Turki Modern. Salah satunya adalah Musthafa Kemal Ataturk.
Menurut Prof. Halil Inalcik, ‘Revolusi Kemal Atatturk’ mengambil konsep sosial Darwinsm. Karena itu, setelah berkuasa, Ataturk mem-Barat-kan Turki sepenuhnya, sampai soal-soal pakaian dan bahasa. Soal khilafah, Atatturk berpendapat, ‘Gagasan satu kekhalifahan, yang menjalankan otoritas religius bagi seluruh umat Islam, adalah gagasan yang diambil dari khayalan, bukan dai kenyataan.’
Gerakan SUP di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sangat penting dicermati, karena mereka mampu menggunakan ‘kata-kata’ untuk melumpuhkan :’kekuasaan’ Sultan Utsmani. Terutama, dengan kolaborasi dengan gerakan Zionis, setelah Kongfres Zionis Pertama (1897). Cevdet dan sejumlah aktivis CUP memang simpatisan Yahudi dan gerakan Zionis.
‘Freedom and Liberation’ Tokoh-tokoh CUP juga berkolaborasi dengan Freemansonry di Turki. Menurut Dr. Sukru Hanioglu, dosen Universitas Islambul, saat itu aktivis Freemansonry memiliki hubungan erat dengan kelompok The Ottoman Freedom Society (Osmanli Hurriet Cemiyati) yang dibentuk tahun 1906. Tokoh Freemanson, Celanthi Scalieri, adalah pendiri loji The Lights of the East (Envar-I Sarkiye) yang beranggotakan sejumlah politisi, jurnalis, dan agamawan terkemuka (seperti Ali Sefkati, pemimpin redaksi Koran Istiqlal, dan Pangeran Muhammad Ali Halim, pemimpin Freemansonry Mesir).
Di sinilah nucleus faksi Turki Muda lahir. Gagasan utamanya mengelaborasikan kata Freedom (kemerdekaan/kebebasan) dan Liberation (pembebasan). Gerakan Scalieri mendapat dukungan sejumlah negara kuat, terutama Inggris. Itu bias dipahami, karena sejak ratusan tahun, Utsmani dianggap sebagai ancaman bagi Kristen Barat. Pengaruh Freemansonry terhadap gerakan liberal dan kebebasan Turki sangat kuat, sehingga Sukltan pun tidak berdaya.
Gerakan pembebasan di Turki ini mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu Revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat. A New Encyclopedia of Fremansonry (1996) mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John Hancoc, dan Benjamin Franklin adalah aktivis Freemansonry. Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar, dan Jose Rizal di Filipina.
Ide pokok Freemansonry adalah ‘Liberty, Egality and Fraternity’. Di bawah jargon inilah, jutaan orang ‘tertarik’ untuk melakukan apa yang disebut sebagai ‘kemerdekaan sejati bagi seluruh rakyat dari tirani politik maupun tirani sistem kerohanian’.
Tampaknya waktu itu Sultan Abdul Hamid II diposisikan sebagai ‘kekuatan tiran’. Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, yang diposisikan sebagai tirani sistem kerohanian adalah ‘teks-teks Al-Quran dan Sunnah’, juga khazanah-khazanah Islam klasik karya ulama Islam terkemuka. Masih ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Yang jelas, Rene Guenon, guru Frithjof Schuon (pelopor gagasan pluralisme) misalnya, adalah aktivis Freemasonry.
Juga masih diselidiki, adakah misalnya pengaruh aktivitas Jamaluddin Al-Afghani di Freemasonry dengan pemikiran Muhammad Abduh atau tafsir al-Manar-nya Rasyid Ridla Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari ‘teks’, dan dekonstruksi tafsir Quran (lalu menggantinya dengan metode hermeneutika yang banyak digunakan dalam tradisi Bibel), cukup sering terungkap.
Bahkan, bagi Mohamed Arkoun misalnya, Mushaf Utsmani diposisikan sebagai ‘tiran’ yang perlu dipersoalkan. Kata Arkoun, persoalannya, berkaitan dengan proses historis pengumpulan Al-Quran menjadi mushaf resmi kian lama kian tidak masuk akal di bawah tekanan resmi khalifah, karena Al-Quran telah digunakan sejak permulaan negara Islam untuk melegitimasi kekuasaan dan menyatukan ummat.’
Kekuatan ‘kata’ dan ‘kasih’ terbukti ampuh dalam menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan tidak simpatik seperti ‘ortodoks’, ‘beku’, ‘berorientasi masa lalu’, dan ‘emosional’. Kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen-Eropa, dan Zionis-Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdul Hamid II (1909) adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Teror fisik seperti cluster bomb-nya Amerika dalam invasi di Iraq, mudah memancing reaksi besar. Ratusan ribu aktivis Islam turun ke jalan, menentang serangan AS ke Irak. Namun kalau menghadapi teror ‘kata’ berselubung ‘kasih’, kaum Muslimin biasanya terlambat sadar. Dampaknya pun biasanya memakan waktu lama. Ummat Islam akan tenang-tenang saja meskipun setiap detik diteror dengan kata-kata indah itu. Bisa melalui media massa, atau ucapan tokoh-tokoh ummat sendiri. Apakah sejarah masih akan berulang untuk kaum Muslim Indonesia’ Wallahu a’lam.*

( 25 Juni 2003).

Kamis, 08 September 2016

Jangan SARA


Seolah menjadi suatu aib bahkan suatu yang nista, selalu dan berulang kali, jika kita ingin mengutarakan pendapat atau melakukan satu hal, kita diperingatkan, jangan SARA ya!
SARA itu singkatan Suku, Agama, Ras, Antargolongan. Entah mengapa di Indonesia seolah tabu dibicarakan, dan bila dibicarakan seolah menghina yang lainnya, padahal ya tidak begitu juga
Islam memandang, soalan Suku dan Ras, adalah perkara yang manusia tak bisa memilihnya, sudah takdir. Karenanya Islam melarang menjadikan Suku dan Ras, takdir, untuk dipermasalahkan
Tapi dalam Islam, agama adalah pilihan, sesuatu yang harus dibawa kemana-mana, sebab di dalam Islam, agama bukan hanya ibadah ritual, tapi juga solusi permasalahan hidup manusia
Artinya, Islam mengatur shalat, juga mengatur kehakiman, Islam mengatur pernikahan juga mengatur kepemimpinan. Kata-kata jangan bawa agama, hampir mustahil di dalam Islam
Berbeda dengan agama yang lain, cocok ketika diterapkan "Jangan SARA", sebab agama selain Islam tidak punya aturan tentang ekonomi, peradilan, politik, kepemimpinan, layaknya Islam mengatur
Sehingga dalam Islam tidak ada netralitas, sebab aqidah tidak mungkin netral, mengambil aqidah Islam itu sepaket dengan kecenderungannya, menjauhi yang haram, mengambil yang halal
Jadi akan sangat aneh bila ada seruan "Jangan SARA" pada Muslim, itu menandakan yang mengatakan tak paham Islam, tak paham bahwa Islam punya aturan dalam segala hal
Koreksi, Jangan rasis, jangan sukuis, itu dibenarkan dalam Islam. Tapi jangan bawa agama? Sori, bahkan seorang Muslim diingatkan agar jangan mati kecuali dalam keadaan Muslim, apalagi hidup



oleh ustadz felix siauw

Rabu, 07 September 2016

3 doa

ada 3 hal yang seharusnya kita pinta disaat kita berdoa dan menghadapi berbagai persoalan hidup beserta tantangannya. Adalah doa Nabi Musa yang meminta 3 hal dikala mendapat perintah Allah SWT.
Ketika itu, Nabi Musa berhasil keluar, melarikan diri dari kerajaan Firaun. Namun, tak begitu lama jerih payahnya berhasil, Allah berkehendak lain. Allah memerintahkan Nabi Musa untuk kembali ke kerajaan Firaun demi menyampaikan kebenaran agama Allah. Begitu berlawanan dengan usahanya selama ini, Nabi Musa pun berkecil hati. Karena setelah lama bersusah payah keluar melarikan diri dari Firaun, Allah malah mengutusnya kembali kesana. Sungguh tantangan yang begitu berat.
Untuk itu, Nabi Musa selalu berdoa agar bisa menjalani apa tujuan Allah mengutus dirinya untuk kembali ke kerajaan Firaun. Karena Nabi Musa memiliki kesadaran diri bahwa Allah memberikan perintah tak lain adalah untuk kemajuan dirinya, maka Nabi Musa meminta tiga hal dalam doanya;
  • Mohon untuk dilapangkan dada…
    agar dapat menerima tugas dan tanggung jawab dengan lapang dada, penuh keikhlasan dan menerima kenyataan, bahwa inilah kewajiban yang harus dilakukan
  • Mohon untuk dimudahkan jalan…
    agar tugas yang berat ini bisa dilalui dengan baik dan lancar, tentunya atas pertolongan dan izin Allah
  • Mohon untuk dimudahkan dalam berbicara…
    agar dalam berkomunikasi, penyampaian kebenaran dapat didengar dan dimengerti semua orang
Ketiga doa inilah yang perlu banyak-banyak kita panjatkan dalam menjalani ujian dan tantangan hidup, baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan kerja dan masyarakat. Adapun bunyi kalimat doa tersebut adalah:
“Robbish rohli sodri wayasirli amri wahlul uqdatamilisaani yafqahu qauli..”
yang artinya:
Ya Robbi lapangkanlah dadaku, mudahkan urusanku ya Rabb, dan lepaskanlah kekakuan dalam lidahku..

Jumat, 22 April 2016

Mengapa Belanda Lebih Memilih Kartini, Bukan Cut Nyak Dien Atau Dewi Sartika?


Oleh Tiar Anwar Bachtiar
Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).
Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.
Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?
Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.
Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.
Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.
Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.
Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? — Apa karena Cut Nyak dibenci penjajah?— Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?

*Peneliti INSISTS dan Kandidat Doktor Sejarah, Universitas Indonesia
Sumber: voa-islam.com/Senin, 13 Rajab 1437 H / 12 Mei 2014
(nahimunkar.com)

Minggu, 17 April 2016

INIKAH ARTI SLOGAN "JAKARTA BARU"?


Ketika Singapura merdeka, presiden pertamanya adalah Dr. Mohd. Yusuf dan Perdana Menterinya adalah Lee Kuan Yew. Seperti negara-negara yang sedang berkembang lainnya, Singapura miskin dan kumuh.
Pada waktu itu, PM Lee memperkenalkan konsep meritocracy. Jika Singapura ingin maju, maka hendaknya warga Singapura lebih mengutamakan pemimpin yang cakap tanpa harus melihat latar belakang ras, dan agamanya. Rupanya konsep tersebut diterima masyarakat Singapura. Karena ras Tionghoa dominan dalam ekonomi dan pendidikan, maka warga negara Singapura keturunan Tionghoa lebih dominan di bidang ekonomi maupun pemerintahan. Sebaliknya, ras Melayu semakin pudar perannya.
Bahkan pada sekitar tahun 1975, pemerintah Singapura menghapuskan pelajaran bahasa dan kebudayaan Melayu di sekolah-sekolah Singapura. Bahasa yang diwajibkan pemerintah disekolah adalah bahasa Inggris atau bahasa Mandarin. Dengan demikian, ras Melayu semakin terpojok.
Beberapa pengamat melayu, seperti Hamka, mulai mempersoalkan hal ini. Namun, Hamka harus menelan pil pahit karena beliau tidak diperkenankan masuk Singapura.
Kota Singapura tadinya didiami banyak penduduk Melayu. Kediaman penduduk Melayu didapatkan hampir di seluruh Singapura. Namun, pemerintah Singapura kemudian menerapkan pajak tanah yang tinggi sehingga banyak penduduk Melayu yang tak mampu membayar pajak dan terpaksa menjual tanahnya kepada orang yang lebih mampu, yaitu etnis Tionghoa.
Seorang penduduk lama Singapura, keluarga Melayu Jawa yang berhasil membeli tanah cukup luas di jalan 6th Avenue berkat usaha produksi tempe dan tahu, mendapat surat dari pemerintah Singapura bahwa kawasan yang didiaminya akan dijadikan kawasan elite dan persyaratan rumahnya merupakan rumah mewah. Dia harus membangun rumah dengan standar yang telah ditentukan atau menjual tanahnya pada pemerintah atau swasta sehingga dapat dibangun pemukiman mewah yang direncanakan.
Untunglah, anak-anaknya mampu membangunkan rumah yang disyaratkan sehingga rumah tersebut menjadi benteng terakhir Melayu di kawasan itu.
Sikap pemerintah Singapura terhadap warga Melayu menjadi perbincangan hangat ketika keluar kebijakan warga Melayu jika masuk menjadi tentara Singapura hanya dapat mencapai pangkat tertentu, karirnya tak dapat diteruskan sampai jabatan puncak. Alasannya,warga Melayu diragukan kesetiaannya terhadap Negara Singapura. Waktu berjalan terus, Singapura yang semula merupakan bagian dari kesultanan Johor Melayu, kini tampil berbeda.
Dengan perkembangan yang sedang dan akan terjadi di Jakarta, banyak yang mempertanyakan apakah Jakarta akan berkembang serupa dengan Singapura?
Konsep meritocracy telah diamalkan mulai dari kasus lurah Susan, lelang jabatan, pernyataan Ahok bahwa agama tak perlu dicantumkan di KTP. Opini bahwa warga kurang mampu harus keluar dari Jakarta semakin kuat. Kenaikan PBB 200 % dirasakan beratnya oleh penduduk yang kurang mampu. Mereka pun bersiap-siap keluar Jakarta pindah ke daerah pinggiran serta menjual tanah dan rumahnya. "Kalau kamu buat kehidupan gak cukup ya kamu jual dong." begitulah nasehatnya tempo hari.
Pedagang Kaki Lima (PKL) mempunyai atribut yang jelek. Mereka dianggap memacetkan jalan dan mengotori Jakarta. Janji manis kampanye dan kontrak politik Pro-Rakyat seakan tak terbukti. Upaya relokasi ke Rusunawa (Rumah susun sederhana Sewa) kurang mempertimbangkan kesinambungan pendapatan mereka sehingga sebagian juga harus keluar dari Jakarta karena tidak mampu membayar uang sewa bulanan.
Nelayan-nelayan pun tidak kalah mengharukan. Pasar ikan, kawasan Luar batang yang penuh historis tergerus kuatnya megaproyek Reklamasi Teluk Jakarta.
Bagaimanakah wajah Jakarta di masa depan?
Sekarang jika Anda sempat menelusuri kepemilikan rumah di kawasan Menteng, sekitar masjid Agung Al-Azhar, sekitar separuhnya dimiliki oleh saudara- saudara kita etnis Tionghoa. Sudah tentu jika Anda sempat ke Pluit, Pantai Indah Kapuk, Glodok, dan Kelapa Gading,semuanya mayoritas adalah saudara kita etnis Tionghoa.
Apakah warga pribumi di Jakarta akan menjadi minoritas dan menjadi penonton pembangunan Jakarta yang semakin gemerlap? termasuk megaproyek Reklamasi Teluk Jakarta?
Apakah Rekamasi Teluk bermanfaat bagi warga Jakarta? Yang nyata-nyata sudah "dijual" oleh Agung Podomoro di China dengan kedok investasi? Atau hanya bermanfaat untuk segelintir orang tertentu?
Apakah Jakarta akan berkembang seperti Singapura yang sebagian besar bisnis kepemilikan gedung dan rumahnya merupakan milik saudara-saudara kita etnis Tionghoa dan warga Jakarta akan terus terpinggirkan?
Hanya waktu yang akan menjawabnya..
MONGGO DI BULLY dan DI SHARE
‪#‎SALAMTEMANMABOK‬




sumber : facebook.com

Rabu, 16 Maret 2016

MENGKRITISI ACARA EARTH HOUR



Kenapa Ceremonial Earth Hour dilakukan di minggu ketiga bulan Maret?

Bagi kita yang hidup di wilayah tropis seperti Indonesia mungkin tidak terasa perbedaannya dilakukan earth hour kapan saja, tapi bagi orang-orang yang hidup di negara 4 musim, hal ini sangat berpengaruh. Bulan Maret adalah bulan ketika udara disana cukup nyaman, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin sehingga mereka tidak perlu menyalakan AC atau heater. Dan kenapa dilakukan pada 20.30 – 21.30 ? Hal ini karena pada jam-jam itu banyak orang yang sudah bersantai dengan keluarga, kegiatan yang dilakukan tidak terlalu produktif sehingga jika dimatikan selama satu jam, tidak akan mengganggu roda perekonomian dan stabilitas negara. Lagipula yang dimatikan juga adalah peralatan listrik yang tidak sedang digunakan, kalau di rumah sakit atau lab yang membutuhkan listrik menyala terus, peralatan listrik yang ini tentu tetap boleh dinyalakan.


kekurangan Acara Earth Hour

1. Pada setiap acara erth hour, banyak orang yang menggunakan lilin sebagai penerangan. Hal ini sebenarnya akan memberikan emisi gas  CO2 yang lebih besar ke atmosfer. Karena itu, dianjurkan untuk tidak menggunakan lilin di saat earth hour, karena bisa menghasilkan sampah juga.

2. Setelah mematikan listrik selama satu jam, kita akan menyalakan listrik juga di saat yang bersamaan. Nah, saat kita menyalakan listrik bersamaan ini sebenarnya akan dapat membuat kerja generator di PLN akan lebih berat.

3. Setiap jamnya, sebenarnya PLN telah mengalokasikan listrik yang akan digunakan. Pada, saat earth hour, berarti akan ada listrik yang terbuang percuma karena tidak kita manfaatkan. Karena itu untuk earth hour selanjutnya, mungkin kita perlu untuk berkoordinasi dulu dengan PLN agar tidak ada listrik yang terbuang sia-sia.

KESIMPULAN :
sebenarnya acara ini hanya ceromonial belaka,tidak terlalu berdampak pada stabilitas ekonomi suatu negara. justru acara ini membuat produksi listrik tidak efisien karena disatu sisi beban listrik tidak ada namun disisi lainnya produksi listrik dilakukan terus menerus. harusnya jika ingin melakukan penghematan listrik harus dilakukan koordinasi dengan pln , sebagai contoh jika acara itu dilakukan di malang maka harusnya mereka berkoordinasi dengan pln dan pjb karena sistem listrik di jawa itu menggunakan sistem interkoneksi.

kedepan akan kami beberkan lagi beberapa kekurangan lainnya, untuk malam ini cukup sekian dulu. jika ada yang salah silahkan berikan komentar karena kami banyak meninjau dari segi teknik sebagimana kami merupakan mahasiswa teknik :)



dikutib dari : http://aksaramerdeka.blogspot.co.id/2011/04/we-are-super-species-on-earth-but-also.html

Selasa, 15 Maret 2016

KAJIAN MAGHRIP USTADZ MUHAMMAD AINURRIZA,LC

KAJIAN USTADZ MUHAMMAD AINURRIZA,LC

SELASA MAGHRIP, 15 MARET 2016

MASJID AL MU'MINUN
JL. MAHAKAM NO.29 MALANG

UNTUK MENGETAHUI JADWAL KAJIAN SILAHKAN HUBUNGI BUYUNG : 085749652052 (SMS DAN WA)

http://www.mediafire.com/download/1jng796g26d2sk4/kajian+maghrip+ustadz+m.+ainurriza%2Clc+selasa+15+maret+2015.3gpp


Minggu, 28 Februari 2016

FIQIH GERHANA

oleh: Ustadz Abu Mundzir al Ghifary Hafizhahullah

Di dalam keindahan ajaran syariat Islam yang dibawa oleh Baginda Nabi Besar Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah tuntunan beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam yang sangat indah tatkala terjadi gerhana, yang merupakan peristiwa besar dalam pandangan syariat Islam. Bagaimana tidak, Pencipta matahari dan bulan memberitakan bahwa Gerhana merupakan tanda yang Dia jadikan sebagai peringatan bagi hamba-hamba-Nya akan ancaman adzab-Nya yang maha dasyat, serta peringatan akan kengerian azab kubur dan hari kiamat. Sikap takut, tunduk, dan khusyu’ benar-benar ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam ketika terjadi peristiwa tersebut.

Diantara yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bersegera melaksanakan shalat gerhana. Dengan bentuk pelahsanaan yang berbeda dari shalat-shalat lainnya, yaitu dengan memanjangkan bacaan, dua kali ruku pada setiap rakaat, dan memanjangkan ruku dan sujudnya. 

Waktu Pelaksanannya

 Pelaksanaan shalat gerhana bila kita sudah melihat bahwa gerhana benar benar terjadi.
Waktu pelaksanaannya terbentang mulai dari awal terjadinya gerhana, maka hendaknya bersegera melaksanakan shalat sejak awal proses gerhana, tidak perlu menunggu puncak gerhana tersebut. Waktu shalat gerhana berakhir ketika proses gerhana selesai. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah dan berdoalah hingga tersingkap kembali.” (Muttafaqun ’alaihi). Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam memanjangkan shalat gerhana sepanjang terjadinya gerhana matahari.

Gerhana Apakah yang Disyariatkan Shalat Padanya?

Sebagaimana diketahui, gerhana matahari dan gerhana bulan ada beberapa macam, ada gerhana total, sebagian, cincin dan lain-lain selama ada bagian matahari/bulan yg tertutupi bukan hanya bayangan saja. Maka disyariatkan shalat gerhana padanya.

Hukum Shalat Gerhana

    Ada 2 pendapat di kalangan ulama tentang hukum shalat gerhana:

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat hukumnya sunnah mu’akkadah. Landasan pendapat ini adalah: Kisah seseorang yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya tentang apa kewajibannya dalam Islam, maka Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam menyebutkan shalat 5 waktu. Orang tersebut lalu bertanya, apakah ada kewajiban shalat selainnya? Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak ada, kecuali jika engkau mau shalat sunnah.” (HR. Al-Bukhari no. 2481 dan Muslim no. 11)

Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ’anhu ketika diutus berdakwah ke negeri Yaman, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berpesan kepadanya, ”Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu.”(HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslimno. 19) Sebagian ulama lainnya berpendapat hukumnya wajib. Landasan pendapat ini adalah teks perintah Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hadits tentang gerhana yang bersifat perintah, ”… apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah…”
Karena merupakan perintah, maka sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih, ’perintah’ menunjukkan kepada makna wajib, kecuali apabila dalil lainnya yang memalingkan dari makna wajib kepada makna sunnah. Sedangkan dalam konteks gerhana ini tidak ada dalil lainnya. Adapun dua hadits yang dijadikan dalil oleh jumhur di atas, tidak berarti meniadakan adanya shalat-shalat lain selain shalat lima waktu yang hukumnya wajib. Karena yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam dua hadits tersebut adalah shalat yang kewajibannya bersifat mutlak. Namun di sana ada shalat-shalat lainnya yang hukumnya juga wajib karena ada sebab-sebab tertentu, misalnya shalat jenazah, shalat ’Id, shalat tahiyyatul masjid, termasuk dalam hal ini shalat gerhana.

Maka alasan pendapat kedua ini cukup kuat. Bagaimana tidak, disamping adanya perintah yang sangat tegas pada hadits di atas, gerhana yang merupakan tanda peringatan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, demikian pula bagaimana sikap yang ditunjukkan  oleh Rasul Shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam sangat  ketakutan, sangat khusyu’, melakukan shalat yang berbeda dari shalat-shalat lainnya, kemudian beliau berkhutbah dengan khutbah yang mendalam; kondisi yang demikian menunjukkan indikasi yang sangat kuat bahwa shalat gerhana tersebut merupakan kewajiban. Sungguh suatu hal yang kontras apabila datang peringatan, namun manusia tetap di tokonya, di kantornya, di sawahnya, dan seterusnya seperti sedia kala tidak merasa ketakutan dan tidak bersegara menuju shalat.

Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin Rahimahullah berkata, ”Pendapat yang menyatakan wajib lebih kuat dibandingkan yang sunnah. Namun, wajib di sini adalah wajib (fardhu) kifayah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/ 182)

Disyariatkan Berjamaah di Masjid, Boleh Pula Sendiri-sendiri

      ”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam keluar menuju masjid, beliau berdiri dan bertakbir (yakni shalat gerhana, pen) dan para makmum bershaf di belakang beliau…” (HR. Muslim no. 901)

Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan melaksanakan shalat gerhana di masjid yang dipakai juga untuk shalat jum’at…hadits ini juga menunjukkan disunnahkan melaksanakannya secara berjamaah, boleh pula dikerjakan dengan sendiri-sendiri.” (Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901). 

Tidak Ada Adzan dan Iqomah, Namun Diserukan ”Ash-Shalatu Jami’ah”

      Berdasarkan hadits dari sahabat ’Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu ’anhuma, ”Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasul diserukan, ”Inna ash-Shalata Jami’ah.” (HR. Al-Bukhari no. 1045) dalam lafadz lain ’Ash-Shalatu Jami’ah” (HR. Muslim no.901). Al-Imam an_Nawawi Rahimahullah berkata, ”Disenangi untuk diserukan ’ash-shalatu Jami’ah’ pada saat gerhana, dan para ulama sepakat tidak ada adzan dan iqomah padanya.” (Lihat Syarh Shahih Muslimhadits no. 901).

      Makna “Ash-Shalatu Jami’ah” adalah, “Sesungguhnya shalat mengajak kalian berkumpul (maka hadirilah).” Seruan tersebut bisa diulang beberapa kali sesuai kebutuhan, terutama pada shalat gerhana bulan yang dilaksanakan pada malam hari.

Tata Cara Shalat Gerhana

      Sebagaimana diketahui melalui keterangan hadits-hadits yang shahih, gerhana pada masa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam hidup terjadi hanya sekali, yaitu gerhana matahari total yang terjadi pada tahun ke-10 hijriah. Keterangan tentang cara shalat gerhana tersebut diriwayatkan dalam beberapa hadits dari beberapa sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Diantaranya, hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana, beliau melaksanakan shalat 4 kali ruku dalam 2 rakaat, dan 4 kali sujud.” (HR.Muslim no. 901)

       Keterangan dari beberapa hadits tentang tata cara shalat gerhana Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallambisa disimpulkan sebagai berikut:

> Takbiratul ihram.

> Membaca doa istiftah, ta’awwudz, dan membaca basmalah secara sir (pelan).

> Membaca surah Al-Fatihah dan surah secara jahr (keras). Bacaan pada berdiri pertama rakaat pertama ini dipanjangkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diterangkan “…kurang lebih sepanjang surah Al-Baqarah…” (HR. Al-Bukhari no. 1052, Muslim no. 907).

> Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku, membaca doa ruku dengan diulang-ulang.

> Kemudian berdiri dari ruku sambil mengucapkan, ”Sami’allahu liman hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana walakal hamd.”Setelah itu tidak sujud, namun terus berdiri panjang, dan 

> Kembali bersedekap tanpa takbir dan langsung membaca Al-Fatihah dan surah. Namun berdiri kedua pada rakaat pertama ini agak lebih pendek dibandingkan berdiri pertama.

> Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku, membaca doa ruku dengan diulang-ulang. Ruku kedua ini agak lebih pendek dibandingkan ruku pertama.

> Kemudian berdiri dan ruku sambil mengucapkan ”Sami’allahu liman hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana walakal hamd,” ini adalah i’tidal, dan dipanjangkan juga. Berdasarkan hadits dari sahabat Jabir Radhiyallahu ’anhu, ”…maka Nabi memanjangkan berdiri sampai-sampai (sebagian makmum) tersungkur, lalu beliau ruku dan memanjangkannya, lalu bangkit berdiri dan memanjangkannya, lalu ruku dan memanjangkannya, kemudian bangkit berdiri dan memanjangkannya, kemudian beliau sujud dua kali…” (HR. Muslim no. 904).

> Bertakbir kemudian sujud dengan sujud yang panjang juga. Berdasarkan hadits, ”…kemudian beliau sujud dengan sujud yang panjang.” (HR. al-Bukhari no. 1047).

> Kemudian bertakbir dan bangkit, lalu duduk iftirasy dan memanjangkan duduknya.(HR. an-Nasa’i no. 1482).

> Lalu bertakbir dan kembali sujud dengan sujud yang panjang, namun tidak sepanjang sebelumnya. (HR. al-Bukhari no. 1056).

> Bertakbir dan berdiri untuk rakaat kedua. 

Demikian berikutnya sama persis dengan rakaat pertama, hanya saja masing-masing lebih pendek dari pada sebelumnya. Pada berdiri pertama rakaat kedua kembali membaca Al-Fatihah dan surah dengan jahr dan dipanjangkan pula kurang lebih sepanjang surat ali ’Imran. (HR. Abu Dawud no. 1187).Kemudian duduk bertasyahud, membaca shalawat, dan salam ke kanan dan ke kiri.

Apabila Masbuq

       Dalam shalat gerhana, makmum dinyatakan kurang rakaat shalatnya apabila dia tidak mendapati ruku pertama pada rakaat pertama. Maka, setelah imam mengucapkan salam, makmum tersebut harus menambah satu rakaat dengan dua kali ruku.

Khutbah Shalat Gerhana

            Disunnahkan untuk berkhutbah setelah shalat gerhana, karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam melakukannya. ”Setelah beliau selesai shalat, matahari telah tersingkap (dari gerhananya). Lalu beliau berkhutbah seraya memuji Allah dan menyanjung-Nya…” (HR. al-Bukhari no. 1044)

”…berkhutbah seraya memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, lalu mengatakan Amma Ba’d…” (HR. al-Bukrahi no. 1061). Keterangan hadits tersebut, di samping menunjukkan disunnahkannya khutbah setelah shalat gerhana, juga menunjukkan bahwa tetap berkhutbah meskipun gerhana telah selesai asalkan sudah selesai dari shalat gerhana. Berbeda halnya apabila gerhana telah selesai namun belum sempat melaksanakan shalat gerhana, maka ketika itu tidak ada shalat, tidak ada pula khutbah. (Lihat Fathul Bari hadits no. 1044).

Menurut asy-Syaikh al-Bassam Rahimahullah, khutnah tersebut dilakukan saat dibutuhkan sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia, namun jika tidak dibutuhkan maka cukup dengan doa, istighfar, dan shalat tanpa khutbah. (Lihat Taisirul ’Allam 1/ 133).

Shalatnya Kaum Wanita

      Kaum wanita boleh mengikuti shalat gerhana berjamaah di masjid, sebagaimana ’Aisyah dan Asma’ bintu Abi Bakr Radhiyallahu ’anhum dulu ikut melaksanakan shalat gerhana di masjid. (Lihat Hr. al-Bukhari no. 1053, Muslim no. 905, Syarh Shahih Muslim, al-Mughni III/ 322). Boleh pula mereka shalat dirumahnya masing-masing secara sendiri-sendiri. Perlu diingat, kaum wanita yang hadir berjamaah di masjid ada syarat-syarat yang sangat ketat. Diantaranya: harus menutup aurat dan berjilbab sesuai dengan syarat-syaratnya, tidak memakai wewangian, tidak berhias, tidak berbaur dengan kaum pria, dan lain-lain.
 
Wallahu a’lam bish shawab
 
 
Repost WA Manhaj Lurus

www.kajiantemanggung.com