Jumat, 14 Oktober 2016

BUYA HAMKA TIDAK MEMBODOHI KITA

Oleh: Dr. Adian Husaini (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS al-Maidah: 51).
****
Sejak tahun 1959, Prof. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Buya Hamka, sudah mengajar Tafsir al-Quran di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta. Tahun 1964, Buya Hamka dijebloskan ke dalam tahanan oleh Rezim Orde Lama. Ketika itulah, Ketua MUI Pertama itu berkesempatan menyelesaikan Tafsir al-Azhar, yang kini masih menjadi salah satu Buku Tafsir rujukan di Indonesia. Dari waktu ke waktu, Tafsir ini berganti-ganti penerbit. Terakhir, tahun 2015, Tafsir al-Azhar diterbitkan oleh penerbit Gema Insani Press (GIP) Jakarta dalam bentuk edisi mewah.
Di tengah gegap gempita pembahasan QS al-Maidah ayat 51 – yang dipicu pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – ada baiknya kita menelaah bagaimana Buya Hamka menafsirkan QS al-Maidah: 51. Sebab, selama puluhan tahun, belum pernah kita dengar satu makhluk pun di muka bumi yang berani menuduh para mufassir al-Quran seperti Buya Hamka ini, telah membohongi dan membodohi umat Islam pakai al-Maidah:51.
Karena itulah, ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, sangat bersejarah. Dalam pernyataannya, 11 Oktober 2016, MUI secara resmi menyatakan, bahwa Ahok telah menghina al-Quran dan menghina ulama-ulama Islam. Kita simak kembali petikan ucapan Ahok yang juga dikutip dalam pernyataan resmi MUI: “… Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..”
Maka, adalah menarik untuk menelaah isi Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka tentang QS al-Maidah:51. Setelah itu, kita bertanya, layakkah ulama terkemuka seperti Buya Hamka ini dikatakan telah membohongi dan membodohi umat Islam? Juga, kepada siapa seharusnya penghina al-Quran dan ulama itu meminta maaf? Siapa pula yang pantas memberikan maaf?
Buya Hamka mengawali penjelasan tentang QS al-Maidah:51 dengan kata-kata yang tegas: “Untuk memperteguh disiplin, menyisihkan mana kawan mana lawan, maka kepada orang yang beriman diperingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin.” (pangkal ayat 51).
Selanjutnya, kita ikuti uraian Buya Hamka dalam Kitab Tafsirnya tersebut:
“Disini jelas dalam kata seruan pertama, bahwa bagi orang yang beriman sudah ada satu konsekuensi sendiri karena imannya. Kalau dia mengaku beriman pemimpin atau menyerahkan pimpinannya kepada Yahudi atau Nasrani. Atau menyerahkan kepada mereka rahasia yang tidak patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian yang akan didapat, melainkan bertambah kusut…”
“… Sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian.” Maksud ayat ini dalam dan jauh. Artinya jika pun orang Yahudi dan Nasrani itu yang kamu hubungi atau kamu angkat menjadi pemimpinmu, meskipun beberapa orang saja, ingatlah kamu, bahwa sebagian yang berdekat dengan kamu itu akan menghubungi kawannya yang lain, yang tidak kelihatan menonjol ke muka. Sehingga yang mereka kerjakan diatas itu pada hakikatnya ialah tidak turut dengan kamu. Kadang-kadang lebih dahsyat lagi dari itu. Dalam kepercayaan sangatlah bertentangan di antara Yahudi dan Nasrani; Yahudi menuduh Maryam berzina dan Isa al-Masih anak Tuhan, dan juga Allah sendiri yang menjelma jadi insan. Sejak masa Isa al-Masih hidup, orang Yahudi memusuhi Nasrani, dan kalau Nasrani telah kuat kedudukannya, merekapun membalaskan permusuhan itu pula dengan kejam sebagaimana selalu tersebut dalam riwayat lama dan riwayat zaman baru. Tetapi apabila mereka hendak menghadapi Islam, yang keduanya sangat membencinya, maka yang setengah mereka akan memimpin setengah yang lain. Artinya di dalam menghadapi Islam, mereka tidak keberatan bekerja sama.
Sebagaimana pernah terjadi di Bandung pada masa Republik Indonesia telah memilih Anggota Badan Konstituante. Wakil-wakil partai-partai Islam ingin agar di dalam Undang-Undang Dasar yang akan dibentuk itu dicantumkan tujuh kalimat, yaitu, “Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Maka seluruh partai yang membenci cita-cita Islam itu sokong-menyokong, pimpin-memimpin, beri-memberi, menentang cita-cita itu, walaupun diantara satu sama lain berbeda ideologi dan berbeda kepentingan. Dalam menghadapi Islam mereka bersatu. Bersatu Katolik, Protestan, partai-partai nasional, partai sosialis, dan partai komunis.
Dalam gelanggang internasional pun begitu pula. Pada tahun 1964 Paus Paulus VI, sebagai Kepala Tertinggi dari gereja Katolik mengeluarkan ampunan umum bagi agama Yahudi. Mereka dibebaskan dari dosa yang selama ini dituduhkan kepada mereka yaitu karena usaha merekalah Nabi Isa al-Masih ditangkap oleh Penguasa Romawi dan diserahkan kepada orang Yahudi, lalu disalib, (menurut kepercayaan mereka). Sekarang setelah 20 abad Yahudi dikutuk, Yahudi dihina dimana-mana dalam dunia Kristen, tiba-tiba Paus memberi mereka ampun. Ampun apakah ini, sehingga pegangan kepercayaan 2.000 tahun dapat diubah demikian saja? Tidak lain, adalah Ampunan Politik. Tenaga Yahudi yang kaya raya dengan uang harus bersatu padu dengan Kristen didalam menghadapi bahaya Islam. Kemudian, 1967, negeri-negeri Arab diserang Yahudi dalam masa empat hari dan Jerusalem (Baitul Maqdis) dirampas dari tangan kaum Muslimin, padahal telah 14 abad mereka punyai. Dan tiba-tiba datanglah gagasan dari gereja Katolik agar kekuasaan atas Tanah Suci kaum Muslimin, wilayah turun temurun selama 1.300 tahun lebih dari bangsa Arab supaya diserahkan kepada satu Badan Internasional. Tegasnya, kepada PBB sedangkan yang berkuasa penuh dalam PBB itu adalah negara-negara Kristen. (Perancis Katolik, Amerika Protestan, Inggris Anglicant, dan Rusia Komunis)…”
“… Sambungan ayat, “Dan barangsiapa yang menjadikan mereka itu pemimpin diantara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah termasuk golongan dari mereka.”
Suku ayat ini amat penting diperhatikan. Yaitu barangsiapa yang mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya, tandanya dia telah termasuk golongan mereka, Artinya telah bersimpati kepada mereka. Tidak mungkin seseorang yang mengemukakan orang lain jadi pemimpinnya kalau dia tidak menyukai orang itu. Meskipun dalam kesukaannya kepada orang yang berlain agama itu, dia belum resmi pindah kedalam agama orang yang disukainya itu. Menurut riwayat dari Abdu Humaid, bahwa sahabat Rasulullah saw yang terkenal Hudzaifah bin al-Yaman berkata: “Hati-hati tiap-tiap seorang daripada kamu, bahwa dia telah menjadi Yahudi atau Nasrani sedang dia tidak merasa.” (Fathul Qodir, Juz 2 hlm. 53)
Lalu dibacanya ayat yang sedang kita tafsirkan ini, yaitu kalau orang telah menjadikan mereka itu jadi pemimpin, maka dia telah termasuk golongan orang yang diangkatnya jadi pemimpin itu.
Perhatikanlah bagaimana bangsa-bangsa penjajah Kristen yang telah menaklukkan negeri-negeri Islam, yang mula-mula mereka kerjakan dengan sungguh-sungguh ialah mengajarkan bahasa mereka, supaya rakyat Islam yang terjajah itu berpikir dalam bahasa bangsa yang menjajah, lalu mereka lemah dalam bahasa sendiri dan terpengaruh dengan peradaban dan kebudayaan bangsa Kristen yang menjajahnya itu. Kian lama kian hilanglah kepribadian umat yang terjajah tadi, hilang pokok asalnya berpikir dan hilang perkembangan bahasanya sendiri. Lalu yang dipandangnya tinggi ialah bangsa yang menjajahnya itu. Hal ini telah kita alami di zaman penjajahan Belanda di Indonesia dan penjajahan Perancis di Afrika Utara, dan penjajahan Inggris di Tanah Melayu dan India. Maka orang yang pangkalannya berpikir masih dalam Islam, merasa rumitlah menghadapi orang-orang yang mengaku Islam ini, sebab dan telah berpikir dari luar Islam.
Bertahun-tahun lamanya kita yang memperjuangkan Islam musti memberikan kepada mereka keterangan agama sepuluh kali lebih sulit daripada memberi keterangan kepada seorang Amerika atau Eropa yang ingin memeluk Islam. Sebab rasa cemooh kepada agama, sinis, acuh tak acuh telah memenuhi sikapnya; mereka itu menamai dirinya Kaum Intelek yang meminta keterangan agama yang masuk akal.
Padahal akalnya itu telah dicekok oleh didikan asing, sehingga kebenaran tidak bisa masuk lagi. Kadang-kadang terhadap orang seperti ini, seorang Muslim yang taat harus bersikap seperti “Menatang minyak penuh”, sebab batinnya pantang tersinggung. Bukan akal mereka yang benar cerdas atau rasionalis melainkan jiwa mereka yang telah berubah, sehingga segala yang bagus adalah pada bangsa yang menjajah mereka, dan segala yang buruk adalah pada pemeluk agamanya sendiri.
Orang semacam inilah yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun didalam Muqaddimah tarikhnya, (Pasal ke II, Kitab Pertama, no. 23). Kata beliau, “Orang yang kalah selalu meniru orang yang menang, baik dalam lambangnya, atau dalam cara berpakaian, atau kebiasaannya dan sekalian gerak-gerik, dan adat-istiadatnya. Sebabnya ialah karena jiwa itu selalu percaya bahwa kesempurnaan hanya ada pada orang yang telah mengalahkannya itu. Lalu dia menjadi penurut, peniru. Baik oleh karena sudah sangat tertanam rasa pemujaan atau karena kesalahan berpikir, bahwa keputusan bukanlah karena kekalahan yang wajar, melainkan karena tekanan rasa rendah diri yang menang selalu benar!”
Barangsiapa yang mengangkat pemeluk agama lain itu jadi pemimpin tidaklah berarti bahwa mereka mengalih agama. Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan, tetapi hakikat Islam telah hilang dari jiwa mereka. Saking tertariknya dan tergadainya jiwa mereka kepada bangsa yang memimpinnya tidaklah mereka keberatan menjual agama dan bangsanya dengan harga murah.
Ketika Belanda sudah sangat kepayahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan mereka sehingga nyaris gagal maka yang menunjukkan cara bagaimana memusnahkan dan mematahkan perlawanan itu ialah seorang jaksa beragama Islam yang didatangkan dari luar Aceh. Dia memberikan advis supaya Belanda mendirikan tentara Marsose yang selain dari memakai bedil dan kelewang, hendaklah mereka memakai rencong juga, sebagaimana orang Aceh itu pula, buat memusnahkan pahlawan Muslimin Aceh yang masih bertahan secara gerilya. kononnya beliau dalam kehidupan pribadi adalah seorang Islam yang taat shalat dan puasa. dan dia mendapat bintang Willemsorde dari Belanda karena jasanya menunjukkan rahasia-rahasia umatnya seagama itu.
Orang seperti ini banyak terdapat dalam sejarah. Negerinya hancur, agamanya terdesak dan buat itu dia diberi balas jasa, yaitu bintang! Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh sahabat Rasulullah saw tadi, yaitu mereka telah menjadi Yahudi, dan disini telah menjadi Nasrani, padahal mereka tidak sadar.”
“Sesungguhnya Allah tidaklah memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (ujung ayat 51)
Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya, sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap. mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi. padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha, sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian.”
****
Demikian penjelasan Buya Hamka tentang makna QS al-Maidah:51. Selama puluhan tahun, tidak ada satu makhluk pun di Indonesia yang menuduh Buya Hamka telah membohongi dan membodohi umat Islam, menggunakan QS al-Maidah:51. Barulah, pada 27 September 2016, beredarlah pidato di Pulau Seribu yang sangat bersejarah itu. Ini masalah serius. Masalah iman Islam, dan masalah kehormatan al-Quran dan para pewaris Nabi. Terlalu remeh, jika kasus ini dikaitkan dengan Pilkada DKI.
Siapakah manusia-manusia yang dengan suka cita dan bangga telah menjadikan kaum Yahudi-Nasrani sebagai pemimpin, dengan mengabaikan kaum muslimin? Jawabannya, ada pada ayat berikutnya: “Maka akan engkau lihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, berlomba-lombalah mereka kepada mereka, berkata mereka: “Kami takut bahwa akan menimpa kepada kami kecelakaan.” Maka moga-moga Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu keadaan dari sisi-Nya. Maka jadilah mereka itu, atas apa yang mereka simpan-simpan dalam hati mereka, menjadi orang-orang yang menyesal.” (QS al-Maidah: 52).
Buya Hamka menjelaskan makna ayat ini: “Inilah kalimat yang tepat. Bahwasanya yang mau menjadikan Yahudi dan Nasrani menjadi pimpinan, tidak lain daripada orang yang di dalam hatinya telah ada penyakit. Penyakit, terutama yang pertama ialah munafik. Yang kedua ialah agamanya itu hanya sekedar nama sebutan belaka, sebab mereka kebetulah keturunan orang Islam. Bagi mereka sama saja, apakah pimpinan itu Islam atau Yahudi atau Nasrani, asal ada jaminan hidup. Bahkan, sampai kepada zaman kita telah merdeka sekarang ini, masih belum sembuh benar penyakit itu.”
Setelah kasus Basuki Tjahaja Purnama, semoga nanti tidak muncul pula orang-orang yang mengaku munafik dan menuduh Buya Hamka serta para ulama Islam telah membohongi umat Islam dengan memakai al-Maidah:52. Namun, kita pun diingatkan al-Quran, agar tidak perlu risau dengan berbagai ucapan aneh-aneh yang mengajak kepada keraguan dan kekufuran. Mereka akan berhadapan dengan Allah. “Maka janganlah ucapan mereka itu merisaukan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.” (QS Yasin: 76).
Kewajiban kita hanyalah mengingatkan, melanjutkan misi dakwah para Nabi. Kita akan bertanggung jawab terhadap pilihan dan amal perbuatan kita masing-masing.

Wallahu A’lam.*/ Depok, 13 Oktober 2016

Selasa, 11 Oktober 2016

Teror Kata Berkedok "Kasih"




Oleh: Adian Husaini ( Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)

"Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta."
(Henry Martyn, missionaries)
Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk ‘menaklukkan’ dunia Islam perlu resep lain: gunakan ‘kata, logika, dan kasih’. Bukan kekuatan senjata atau kekerasan.
Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull, ‘Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.’
Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah misionaris pertama dan mungkin terbesar yang menghadapi para pengikut Muhammad.
Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi resep untuk ‘menaklukkan’ dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai ‘beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen’.
Bagi para missionaris, mengkristenkan kaum Muslim adalah keharusan. Dalam laporan tentang Konferensi Seabad Misi-misi Protestan Dunia (Centenary Conference on the Protestant Missions of the World) di London (1888), tercatat ucapan Dr George F Post, ‘Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini merupakan pertarungan hidup dan mati.’ Selanjutnya, dia berpidato, ‘... kita harus masuk ke dalam Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus mengkristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris mengarungi gurun-gurun, dan mereka akan menyapu laksana api melahap kekristenan kita dan melahapnya.’
Kasus Turki Utsmani Kekuatan ‘kata’ dan ‘kasih’ model Henry Martyn perlu dicatat secara serius. Perang pemikiran ini biasanya dijalankan dengan sangat halus, berwajah manis (seperti penampilan Paul Wolfowitz yang murah senyum). Tetapi cara ini justru lebih manjur, tanpa disadari si Korban.
Ahmad Wahib, yang kini dibangkit-bangkitkan lagi oleh sejumlah kalangan, bisa jadi merupakan ‘korban teror’ sehingga dia jadi ragu tentang kebenaran Islam. Banyak cendekiawan Muslim yang jadi korban setelah menerima pemikiran dan berbagai fasilitas. Anehnya, mereka merasa ‘tercerahkan’ sehingga bersemangat mengadopsi dan menyebarkan ‘pemikiran yang dianggap baru’ kepada kaum Muslimin. Padahal Allah telah memperingatkan dalam Al-Quran Surat Al-Hijr ayat 39:
‘Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’
Kaum Yahudi juga sangat mafhum akan kekuatan teror ‘kata’ dan ‘kasih’. Begitu dahsyat sehingga mampu menghancurkan imperium besar (Utsmani) yang telah berusia hampir 700 tahun. Bagi Zionis, Turki Utsmani adalah penghalang utama mewujudkan negara Yahudi di Palestina.
Bagi Kristen-Eropa, Turki Utsmani adalah ancaman serius. Pendiri Kristen-Protestan, Martin Luther, menyatakan, ‘Kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki sekaligus’. Bernard Lewis menggambarkan, begitu takutnya sampai ada doa agar Tuhan menyelamatkan mereka dari kejahatan Paus dan Turki (Islam and the West, 1993).
Turki Ustmani sulit digulung dengan kekuatan senjata, tapi bisa ditekuk dari dalam oleh kelompok Turki Muda (The Young Turk) dengan ‘kata-kata’. Setelah 1908, praktis kekuasaan di Ustmani sudah dipegang oleh kelompok ini, melalui organisasi Committee anda Union Progress (CUP) yang beranggotakan para cendekiawan Turki yang telah ter-Barat-kan (westernized). Tiga Presiden Tukri modern (sampai tahun 1960) adalah aktivis SUP.
Bagi mereka, Barat (Eropa) adalah ‘kiblat’ untuk mencapai kemajuan. Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP, mengatakan, ‘Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawar maupun durinya sekaligus.’
Dalam buku The Young Turk in Position yang diterbitkan Oxford Univeristy Press (1955), cendekiawan Turki M. Sukru Hanioglu mencatat bahwa kelompok ini berideologi positivesme, materialisme, dan nasionalisme. Hebatnya CUP juga memiliki kader-kader di tentara Ustmani, yang kemudian memegang kekuasaan Turki Modern. Salah satunya adalah Musthafa Kemal Ataturk.
Menurut Prof. Halil Inalcik, ‘Revolusi Kemal Atatturk’ mengambil konsep sosial Darwinsm. Karena itu, setelah berkuasa, Ataturk mem-Barat-kan Turki sepenuhnya, sampai soal-soal pakaian dan bahasa. Soal khilafah, Atatturk berpendapat, ‘Gagasan satu kekhalifahan, yang menjalankan otoritas religius bagi seluruh umat Islam, adalah gagasan yang diambil dari khayalan, bukan dai kenyataan.’
Gerakan SUP di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sangat penting dicermati, karena mereka mampu menggunakan ‘kata-kata’ untuk melumpuhkan :’kekuasaan’ Sultan Utsmani. Terutama, dengan kolaborasi dengan gerakan Zionis, setelah Kongfres Zionis Pertama (1897). Cevdet dan sejumlah aktivis CUP memang simpatisan Yahudi dan gerakan Zionis.
‘Freedom and Liberation’ Tokoh-tokoh CUP juga berkolaborasi dengan Freemansonry di Turki. Menurut Dr. Sukru Hanioglu, dosen Universitas Islambul, saat itu aktivis Freemansonry memiliki hubungan erat dengan kelompok The Ottoman Freedom Society (Osmanli Hurriet Cemiyati) yang dibentuk tahun 1906. Tokoh Freemanson, Celanthi Scalieri, adalah pendiri loji The Lights of the East (Envar-I Sarkiye) yang beranggotakan sejumlah politisi, jurnalis, dan agamawan terkemuka (seperti Ali Sefkati, pemimpin redaksi Koran Istiqlal, dan Pangeran Muhammad Ali Halim, pemimpin Freemansonry Mesir).
Di sinilah nucleus faksi Turki Muda lahir. Gagasan utamanya mengelaborasikan kata Freedom (kemerdekaan/kebebasan) dan Liberation (pembebasan). Gerakan Scalieri mendapat dukungan sejumlah negara kuat, terutama Inggris. Itu bias dipahami, karena sejak ratusan tahun, Utsmani dianggap sebagai ancaman bagi Kristen Barat. Pengaruh Freemansonry terhadap gerakan liberal dan kebebasan Turki sangat kuat, sehingga Sukltan pun tidak berdaya.
Gerakan pembebasan di Turki ini mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu Revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat. A New Encyclopedia of Fremansonry (1996) mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John Hancoc, dan Benjamin Franklin adalah aktivis Freemansonry. Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar, dan Jose Rizal di Filipina.
Ide pokok Freemansonry adalah ‘Liberty, Egality and Fraternity’. Di bawah jargon inilah, jutaan orang ‘tertarik’ untuk melakukan apa yang disebut sebagai ‘kemerdekaan sejati bagi seluruh rakyat dari tirani politik maupun tirani sistem kerohanian’.
Tampaknya waktu itu Sultan Abdul Hamid II diposisikan sebagai ‘kekuatan tiran’. Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, yang diposisikan sebagai tirani sistem kerohanian adalah ‘teks-teks Al-Quran dan Sunnah’, juga khazanah-khazanah Islam klasik karya ulama Islam terkemuka. Masih ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Yang jelas, Rene Guenon, guru Frithjof Schuon (pelopor gagasan pluralisme) misalnya, adalah aktivis Freemasonry.
Juga masih diselidiki, adakah misalnya pengaruh aktivitas Jamaluddin Al-Afghani di Freemasonry dengan pemikiran Muhammad Abduh atau tafsir al-Manar-nya Rasyid Ridla Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari ‘teks’, dan dekonstruksi tafsir Quran (lalu menggantinya dengan metode hermeneutika yang banyak digunakan dalam tradisi Bibel), cukup sering terungkap.
Bahkan, bagi Mohamed Arkoun misalnya, Mushaf Utsmani diposisikan sebagai ‘tiran’ yang perlu dipersoalkan. Kata Arkoun, persoalannya, berkaitan dengan proses historis pengumpulan Al-Quran menjadi mushaf resmi kian lama kian tidak masuk akal di bawah tekanan resmi khalifah, karena Al-Quran telah digunakan sejak permulaan negara Islam untuk melegitimasi kekuasaan dan menyatukan ummat.’
Kekuatan ‘kata’ dan ‘kasih’ terbukti ampuh dalam menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan tidak simpatik seperti ‘ortodoks’, ‘beku’, ‘berorientasi masa lalu’, dan ‘emosional’. Kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen-Eropa, dan Zionis-Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdul Hamid II (1909) adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Teror fisik seperti cluster bomb-nya Amerika dalam invasi di Iraq, mudah memancing reaksi besar. Ratusan ribu aktivis Islam turun ke jalan, menentang serangan AS ke Irak. Namun kalau menghadapi teror ‘kata’ berselubung ‘kasih’, kaum Muslimin biasanya terlambat sadar. Dampaknya pun biasanya memakan waktu lama. Ummat Islam akan tenang-tenang saja meskipun setiap detik diteror dengan kata-kata indah itu. Bisa melalui media massa, atau ucapan tokoh-tokoh ummat sendiri. Apakah sejarah masih akan berulang untuk kaum Muslim Indonesia’ Wallahu a’lam.*

( 25 Juni 2003).