Jumat, 22 April 2016

Mengapa Belanda Lebih Memilih Kartini, Bukan Cut Nyak Dien Atau Dewi Sartika?


Oleh Tiar Anwar Bachtiar
Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).
Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.
Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?
Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.
Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.
Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.
Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.
Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? — Apa karena Cut Nyak dibenci penjajah?— Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?

*Peneliti INSISTS dan Kandidat Doktor Sejarah, Universitas Indonesia
Sumber: voa-islam.com/Senin, 13 Rajab 1437 H / 12 Mei 2014
(nahimunkar.com)

Minggu, 17 April 2016

INIKAH ARTI SLOGAN "JAKARTA BARU"?


Ketika Singapura merdeka, presiden pertamanya adalah Dr. Mohd. Yusuf dan Perdana Menterinya adalah Lee Kuan Yew. Seperti negara-negara yang sedang berkembang lainnya, Singapura miskin dan kumuh.
Pada waktu itu, PM Lee memperkenalkan konsep meritocracy. Jika Singapura ingin maju, maka hendaknya warga Singapura lebih mengutamakan pemimpin yang cakap tanpa harus melihat latar belakang ras, dan agamanya. Rupanya konsep tersebut diterima masyarakat Singapura. Karena ras Tionghoa dominan dalam ekonomi dan pendidikan, maka warga negara Singapura keturunan Tionghoa lebih dominan di bidang ekonomi maupun pemerintahan. Sebaliknya, ras Melayu semakin pudar perannya.
Bahkan pada sekitar tahun 1975, pemerintah Singapura menghapuskan pelajaran bahasa dan kebudayaan Melayu di sekolah-sekolah Singapura. Bahasa yang diwajibkan pemerintah disekolah adalah bahasa Inggris atau bahasa Mandarin. Dengan demikian, ras Melayu semakin terpojok.
Beberapa pengamat melayu, seperti Hamka, mulai mempersoalkan hal ini. Namun, Hamka harus menelan pil pahit karena beliau tidak diperkenankan masuk Singapura.
Kota Singapura tadinya didiami banyak penduduk Melayu. Kediaman penduduk Melayu didapatkan hampir di seluruh Singapura. Namun, pemerintah Singapura kemudian menerapkan pajak tanah yang tinggi sehingga banyak penduduk Melayu yang tak mampu membayar pajak dan terpaksa menjual tanahnya kepada orang yang lebih mampu, yaitu etnis Tionghoa.
Seorang penduduk lama Singapura, keluarga Melayu Jawa yang berhasil membeli tanah cukup luas di jalan 6th Avenue berkat usaha produksi tempe dan tahu, mendapat surat dari pemerintah Singapura bahwa kawasan yang didiaminya akan dijadikan kawasan elite dan persyaratan rumahnya merupakan rumah mewah. Dia harus membangun rumah dengan standar yang telah ditentukan atau menjual tanahnya pada pemerintah atau swasta sehingga dapat dibangun pemukiman mewah yang direncanakan.
Untunglah, anak-anaknya mampu membangunkan rumah yang disyaratkan sehingga rumah tersebut menjadi benteng terakhir Melayu di kawasan itu.
Sikap pemerintah Singapura terhadap warga Melayu menjadi perbincangan hangat ketika keluar kebijakan warga Melayu jika masuk menjadi tentara Singapura hanya dapat mencapai pangkat tertentu, karirnya tak dapat diteruskan sampai jabatan puncak. Alasannya,warga Melayu diragukan kesetiaannya terhadap Negara Singapura. Waktu berjalan terus, Singapura yang semula merupakan bagian dari kesultanan Johor Melayu, kini tampil berbeda.
Dengan perkembangan yang sedang dan akan terjadi di Jakarta, banyak yang mempertanyakan apakah Jakarta akan berkembang serupa dengan Singapura?
Konsep meritocracy telah diamalkan mulai dari kasus lurah Susan, lelang jabatan, pernyataan Ahok bahwa agama tak perlu dicantumkan di KTP. Opini bahwa warga kurang mampu harus keluar dari Jakarta semakin kuat. Kenaikan PBB 200 % dirasakan beratnya oleh penduduk yang kurang mampu. Mereka pun bersiap-siap keluar Jakarta pindah ke daerah pinggiran serta menjual tanah dan rumahnya. "Kalau kamu buat kehidupan gak cukup ya kamu jual dong." begitulah nasehatnya tempo hari.
Pedagang Kaki Lima (PKL) mempunyai atribut yang jelek. Mereka dianggap memacetkan jalan dan mengotori Jakarta. Janji manis kampanye dan kontrak politik Pro-Rakyat seakan tak terbukti. Upaya relokasi ke Rusunawa (Rumah susun sederhana Sewa) kurang mempertimbangkan kesinambungan pendapatan mereka sehingga sebagian juga harus keluar dari Jakarta karena tidak mampu membayar uang sewa bulanan.
Nelayan-nelayan pun tidak kalah mengharukan. Pasar ikan, kawasan Luar batang yang penuh historis tergerus kuatnya megaproyek Reklamasi Teluk Jakarta.
Bagaimanakah wajah Jakarta di masa depan?
Sekarang jika Anda sempat menelusuri kepemilikan rumah di kawasan Menteng, sekitar masjid Agung Al-Azhar, sekitar separuhnya dimiliki oleh saudara- saudara kita etnis Tionghoa. Sudah tentu jika Anda sempat ke Pluit, Pantai Indah Kapuk, Glodok, dan Kelapa Gading,semuanya mayoritas adalah saudara kita etnis Tionghoa.
Apakah warga pribumi di Jakarta akan menjadi minoritas dan menjadi penonton pembangunan Jakarta yang semakin gemerlap? termasuk megaproyek Reklamasi Teluk Jakarta?
Apakah Rekamasi Teluk bermanfaat bagi warga Jakarta? Yang nyata-nyata sudah "dijual" oleh Agung Podomoro di China dengan kedok investasi? Atau hanya bermanfaat untuk segelintir orang tertentu?
Apakah Jakarta akan berkembang seperti Singapura yang sebagian besar bisnis kepemilikan gedung dan rumahnya merupakan milik saudara-saudara kita etnis Tionghoa dan warga Jakarta akan terus terpinggirkan?
Hanya waktu yang akan menjawabnya..
MONGGO DI BULLY dan DI SHARE
‪#‎SALAMTEMANMABOK‬




sumber : facebook.com