oleh: Ustadz Abu Mundzir al Ghifary Hafizhahullah
Di dalam keindahan ajaran syariat Islam yang dibawa oleh Baginda Nabi
Besar Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah tuntunan beliau
Shallallahu ’alaihi wa sallam yang sangat indah tatkala terjadi gerhana,
yang merupakan peristiwa besar dalam pandangan syariat Islam. Bagaimana
tidak, Pencipta matahari dan bulan memberitakan bahwa Gerhana merupakan
tanda yang Dia jadikan sebagai peringatan bagi hamba-hamba-Nya akan
ancaman adzab-Nya yang maha dasyat, serta peringatan akan kengerian azab
kubur dan hari kiamat. Sikap takut, tunduk, dan khusyu’ benar-benar
ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam ketika terjadi
peristiwa tersebut.
Diantara yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah
bersegera melaksanakan shalat gerhana. Dengan bentuk pelahsanaan yang
berbeda dari shalat-shalat lainnya, yaitu dengan memanjangkan bacaan,
dua kali ruku pada setiap rakaat, dan memanjangkan ruku dan sujudnya.
Waktu Pelaksanannya
Pelaksanaan shalat gerhana bila kita sudah melihat bahwa gerhana benar benar terjadi.
Waktu pelaksanaannya terbentang mulai dari awal terjadinya gerhana, maka
hendaknya bersegera melaksanakan shalat sejak awal proses gerhana,
tidak perlu menunggu puncak gerhana tersebut. Waktu shalat gerhana
berakhir ketika proses gerhana selesai. Rasulullah Shallallahu ’alaihi
wa sallam bersabda, ”Apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah
dan berdoalah hingga tersingkap kembali.” (Muttafaqun ’alaihi).
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam memanjangkan shalat gerhana
sepanjang terjadinya gerhana matahari.
Gerhana Apakah yang Disyariatkan Shalat Padanya?
Sebagaimana diketahui, gerhana matahari dan gerhana bulan ada beberapa
macam, ada gerhana total, sebagian, cincin dan lain-lain selama ada
bagian matahari/bulan yg tertutupi bukan hanya bayangan saja. Maka
disyariatkan shalat gerhana padanya.
Hukum Shalat Gerhana
Ada 2 pendapat di kalangan ulama tentang hukum shalat gerhana:
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat hukumnya sunnah mu’akkadah.
Landasan pendapat ini adalah: Kisah seseorang yang datang kepada
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya tentang apa
kewajibannya dalam Islam, maka Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam
menyebutkan shalat 5 waktu. Orang tersebut lalu bertanya, apakah ada
kewajiban shalat selainnya? Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam
menjawab, ”Tidak ada, kecuali jika engkau mau shalat sunnah.” (HR.
Al-Bukhari no. 2481 dan Muslim no. 11)
Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ’anhu ketika diutus berdakwah ke
negeri Yaman, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berpesan kepadanya,
”Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat
lima waktu.”(HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslimno. 19) Sebagian ulama
lainnya berpendapat hukumnya wajib. Landasan pendapat ini adalah teks
perintah Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hadits tentang gerhana
yang bersifat perintah, ”… apabila kalian melihatnya (gerhana) maka
shalatlah…”
Karena merupakan perintah, maka sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih,
’perintah’ menunjukkan kepada makna wajib, kecuali apabila dalil lainnya
yang memalingkan dari makna wajib kepada makna sunnah. Sedangkan dalam
konteks gerhana ini tidak ada dalil lainnya. Adapun dua hadits yang
dijadikan dalil oleh jumhur di atas, tidak berarti meniadakan adanya
shalat-shalat lain selain shalat lima waktu yang hukumnya wajib. Karena
yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam dua
hadits tersebut adalah shalat yang kewajibannya bersifat mutlak. Namun
di sana ada shalat-shalat lainnya yang hukumnya juga wajib karena ada
sebab-sebab tertentu, misalnya shalat jenazah, shalat ’Id, shalat
tahiyyatul masjid, termasuk dalam hal ini shalat gerhana.
Maka alasan pendapat kedua ini cukup kuat. Bagaimana tidak, disamping
adanya perintah yang sangat tegas pada hadits di atas, gerhana yang
merupakan tanda peringatan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, demikian pula
bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Rasul Shallallahu ’alaihi wa
sallam, beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam sangat ketakutan, sangat
khusyu’, melakukan shalat yang berbeda dari shalat-shalat lainnya,
kemudian beliau berkhutbah dengan khutbah yang mendalam; kondisi yang
demikian menunjukkan indikasi yang sangat kuat bahwa shalat gerhana
tersebut merupakan kewajiban. Sungguh suatu hal yang kontras apabila
datang peringatan, namun manusia tetap di tokonya, di kantornya, di
sawahnya, dan seterusnya seperti sedia kala tidak merasa ketakutan dan
tidak bersegara menuju shalat.
Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin Rahimahullah berkata, ”Pendapat yang
menyatakan wajib lebih kuat dibandingkan yang sunnah. Namun, wajib di
sini adalah wajib (fardhu) kifayah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/ 182)
Disyariatkan Berjamaah di Masjid, Boleh Pula Sendiri-sendiri
”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam keluar menuju masjid,
beliau berdiri dan bertakbir (yakni shalat gerhana, pen) dan para makmum
bershaf di belakang beliau…” (HR. Muslim no. 901)
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwa
disunnahkan melaksanakan shalat gerhana di masjid yang dipakai juga
untuk shalat jum’at…hadits ini juga menunjukkan disunnahkan
melaksanakannya secara berjamaah, boleh pula dikerjakan dengan
sendiri-sendiri.” (Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901).
Tidak Ada Adzan dan Iqomah, Namun Diserukan ”Ash-Shalatu Jami’ah”
Berdasarkan hadits dari sahabat ’Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu
’anhuma, ”Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasul diserukan,
”Inna ash-Shalata Jami’ah.” (HR. Al-Bukhari no. 1045) dalam lafadz lain
’Ash-Shalatu Jami’ah” (HR. Muslim no.901). Al-Imam an_Nawawi
Rahimahullah berkata, ”Disenangi untuk diserukan ’ash-shalatu Jami’ah’
pada saat gerhana, dan para ulama sepakat tidak ada adzan dan iqomah
padanya.” (Lihat Syarh Shahih Muslimhadits no. 901).
Makna “Ash-Shalatu Jami’ah” adalah, “Sesungguhnya shalat mengajak
kalian berkumpul (maka hadirilah).” Seruan tersebut bisa diulang
beberapa kali sesuai kebutuhan, terutama pada shalat gerhana bulan yang
dilaksanakan pada malam hari.
Tata Cara Shalat Gerhana
Sebagaimana diketahui melalui keterangan hadits-hadits yang
shahih, gerhana pada masa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam hidup
terjadi hanya sekali, yaitu gerhana matahari total yang terjadi pada
tahun ke-10 hijriah. Keterangan tentang cara shalat gerhana tersebut
diriwayatkan dalam beberapa hadits dari beberapa sahabat Radhiyallahu
‘anhum. Diantaranya, hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu
‘anha, “Bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengeraskan bacaan
dalam shalat gerhana, beliau melaksanakan shalat 4 kali ruku dalam 2
rakaat, dan 4 kali sujud.” (HR.Muslim no. 901)
Keterangan dari beberapa hadits tentang
tata cara shalat gerhana Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallambisa
disimpulkan sebagai berikut:
> Takbiratul ihram.
> Membaca doa istiftah, ta’awwudz, dan membaca basmalah secara sir (pelan).
> Membaca surah Al-Fatihah dan surah secara jahr (keras). Bacaan pada
berdiri pertama rakaat pertama ini dipanjangkan, dalam hadits Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diterangkan “…kurang lebih sepanjang surah
Al-Baqarah…” (HR. Al-Bukhari no. 1052, Muslim no. 907).
> Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku, membaca doa ruku dengan diulang-ulang.
> Kemudian berdiri dari ruku sambil mengucapkan, ”Sami’allahu liman
hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana
walakal hamd.”Setelah itu tidak sujud, namun terus berdiri panjang, dan
> Kembali bersedekap tanpa takbir dan langsung membaca Al-Fatihah dan
surah. Namun berdiri kedua pada rakaat pertama ini agak lebih pendek
dibandingkan berdiri pertama.
> Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku, membaca doa ruku
dengan diulang-ulang. Ruku kedua ini agak lebih pendek dibandingkan ruku
pertama.
> Kemudian berdiri dan ruku sambil mengucapkan ”Sami’allahu liman
hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana
walakal hamd,” ini adalah i’tidal, dan dipanjangkan juga. Berdasarkan
hadits dari sahabat Jabir Radhiyallahu ’anhu, ”…maka Nabi memanjangkan
berdiri sampai-sampai (sebagian makmum) tersungkur, lalu beliau ruku dan
memanjangkannya, lalu bangkit berdiri dan memanjangkannya, lalu ruku
dan memanjangkannya, kemudian bangkit berdiri dan memanjangkannya,
kemudian beliau sujud dua kali…” (HR. Muslim no. 904).
> Bertakbir kemudian sujud dengan sujud yang panjang juga.
Berdasarkan hadits, ”…kemudian beliau sujud dengan sujud yang panjang.”
(HR. al-Bukhari no. 1047).
> Kemudian bertakbir dan bangkit, lalu duduk iftirasy dan memanjangkan duduknya.(HR. an-Nasa’i no. 1482).
> Lalu bertakbir dan kembali sujud dengan sujud yang panjang, namun tidak sepanjang sebelumnya. (HR. al-Bukhari no. 1056).
> Bertakbir dan berdiri untuk rakaat kedua.
Demikian berikutnya sama persis dengan rakaat pertama, hanya saja
masing-masing lebih pendek dari pada sebelumnya. Pada berdiri pertama
rakaat kedua kembali membaca Al-Fatihah dan surah dengan jahr dan
dipanjangkan pula kurang lebih sepanjang surat ali ’Imran. (HR. Abu
Dawud no. 1187).Kemudian duduk bertasyahud, membaca shalawat, dan salam
ke kanan dan ke kiri.
Apabila Masbuq
Dalam shalat gerhana, makmum dinyatakan kurang rakaat shalatnya
apabila dia tidak mendapati ruku pertama pada rakaat pertama. Maka,
setelah imam mengucapkan salam, makmum tersebut harus menambah satu
rakaat dengan dua kali ruku.
Khutbah Shalat Gerhana
Disunnahkan untuk berkhutbah setelah shalat gerhana, karena
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam melakukannya. ”Setelah beliau
selesai shalat, matahari telah tersingkap (dari gerhananya). Lalu beliau
berkhutbah seraya memuji Allah dan menyanjung-Nya…” (HR. al-Bukhari no.
1044)
”…berkhutbah seraya memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, lalu
mengatakan Amma Ba’d…” (HR. al-Bukrahi no. 1061). Keterangan hadits
tersebut, di samping menunjukkan disunnahkannya khutbah setelah shalat
gerhana, juga menunjukkan bahwa tetap berkhutbah meskipun gerhana telah
selesai asalkan sudah selesai dari shalat gerhana. Berbeda halnya
apabila gerhana telah selesai namun belum sempat melaksanakan shalat
gerhana, maka ketika itu tidak ada shalat, tidak ada pula khutbah.
(Lihat Fathul Bari hadits no. 1044).
Menurut asy-Syaikh al-Bassam Rahimahullah, khutnah tersebut dilakukan
saat dibutuhkan sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia, namun jika
tidak dibutuhkan maka cukup dengan doa, istighfar, dan shalat tanpa
khutbah. (Lihat Taisirul ’Allam 1/ 133).
Shalatnya Kaum Wanita
Kaum wanita boleh mengikuti shalat gerhana berjamaah di masjid,
sebagaimana ’Aisyah dan Asma’ bintu Abi Bakr Radhiyallahu ’anhum dulu
ikut melaksanakan shalat gerhana di masjid. (Lihat Hr. al-Bukhari no.
1053, Muslim no. 905, Syarh Shahih Muslim, al-Mughni III/ 322). Boleh
pula mereka shalat dirumahnya masing-masing secara sendiri-sendiri.
Perlu diingat, kaum wanita yang hadir berjamaah di masjid ada
syarat-syarat yang sangat ketat. Diantaranya: harus menutup aurat dan
berjilbab sesuai dengan syarat-syaratnya, tidak memakai wewangian, tidak
berhias, tidak berbaur dengan kaum pria, dan lain-lain.
Wallahu a’lam bish shawab
Repost WA Manhaj Lurus
www.kajiantemanggung.com